BBISiber.co.id, Samosir -Semburan lumpur yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah saat aktivitas pengeboran di kedalaman sekitar 60 meter yang berada di kawasan Sialaman, Desa Rianiate, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, terjadi akibat tekanan formasi, yang secara geologis dapat dijelaskan melalui gejala dan sifat semburannya.
“Dari hasil pengamatan lapangan dan informasi media, dapat kami simpulkan bahwa peristiwa itu merupakan fenomena geologi yang dapat dijelaskan secara ilmiah,” ungkap Petrus Parlindungan Purba, Manager Divisi Pengelolaan Geologi, Keragaman Geologi, Keragaman Biologi dan Keragaman Budaya Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark, Selasa (6/8).
Petrus selanjutnya menjelaskan, tekanan formasi itulah yang menyebabkan air keluar ke permukaan, dan jika tekanan formasi melemah maka aliran air akan juga melemah.
“Berdasarkan peninjuauan lapangan yang dilakukan dan dengan menggunakan tes sederhana, sepertinya fenomena ini lebih kepada fenomena air tanah yang biasa. Pulau Samosir merupakan pengangkatan kembali dasar kawah Gunung Toba sehingga batuan di wilayah ini didominasi oleh tuff dan sedimen endapan danau, sehingga bila terkena air akan seperti lumpur,” paparnya.
Begitupun, Petrus menganjurkan masyarakat untuk memilih kehati-hatian dalam melakukan tindakan serupa, sebab bisa saja dalam kasus yang berbeda, muncul potensi gas beracun dan fenomena lainnya yang dapat menyebabkan gangguan maupun bahaya.
“Akan lebih baik apabila dilakukan penelitian lebih lanjut. Kita tidak bisa membuat kesimpulan pasti tanpa adanya penelitian yang lebih detail,” sebutnya.
Lokasi pengeboran ini memang sangat dekat dengan Gunung Pusuk Buhit (sekitar 8 km), sehingga banyak yang mencoba mengaitkan hal ini sebagai bentuk manifestasi panas bumi (geothermal), dan beberapa orang secara traumatik mengaitkannya dengan fenomena Lumpur Lapindo di Jawa Timur.
“Kita akan terus memantau hal ini, dan mudah-mudahan tidak terjadi hal yang dikhawatirkan oleh masyarakat,” kata alumni jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM ini.
Pada umumnya, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat Samosir sebenarnya lebih banyak menggunakan air permukaan, seperti mata air, air danau, dan air terjun. Tapi karena saat ini banyak sumber air yang mengering akibat gangguan dan perubahan ekosistem, mereka mulai mencari alternatif lain. Di antaranya adalah dengan menggali tanah dengan memakai bor. Selebihnya memakai fasilitas penampungan berupa waduk.
Manager Divisi Edukasi, Konservasi, dan Pemberdayaan Masyarakat, Ovi Vensus Hamubaon Samosir, yang melakukan tinjauan langsung ke lapangan, memberikan laporan bahwa semburan lumpur itu telah berhenti. Dia mengimbau masyarakat dan pemerintah daerah untuk tetap mempertahankan sumber-sumber air bersih yang berasal dari permukaan dengan cara meningkatkan aksi konservasi, mengembalikan fungsi ekosistem, dan menjaga kualitas danau.
“Melakukan penanaman pohon, melindungi hutan-hutan penyangga, dan mengembalikan kebijaksanaan tradisional untuk selaras dengan alam adalah hal-hal yang dapat kita lakukan dan kita wariskan kepada keturunan kita. Pulau Samosir ini adalah wilayah yang rentan karena dibentuk oleh kegiatan vulkanik, memiliki areal curam, dan danau tertutup. Semua itu mengandung risiko bencana apabila kita tidak menjaganya secara hati-hati. Kita juga harus memahami bahwa kapasitas Pulau Samosir ini amat terbatas. Kita harus menjadikannya sebagai wilayah konservasi, bukan objek eksploitasi atau kegiatan ekstraksi,” kata putra asli Samosir ini. (*)
Reporter : Tikwan Siregar